Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku penyusun makalah ini diberi
kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Berbagai
Pendekatan di dalam Memahami Agama”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif
agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah ini benar-benar membuktikan bahwa
mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada
kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa
khususnya. Amin.
Pekanbaru,20Maret 2014
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar
ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat
manusia. Agama tidak boleh sekedar menjadi lambang kesalahan atau terhenti
sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan
cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat
dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan
teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan
lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap
masalah yang timbul.
Dalam
bab ini akan mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami
agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebutlah
kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya
tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama
menjadi sulit difahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya
masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, hal ini tidak boleh
terjadi.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dan dalam makalah ini dibahas
tentang pendekatan-pendekatan sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan
filosofis. Untuk lebih jelasnya pendekatan tersebut akan dikemukakan dalam
makalah berikut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis?
2.
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan filosofis?
3.
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan historis?
4.
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan psikologis?
5.
Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kebudayaan?
BAB
II
ISI
Berbagai
pendekatan di dalam memahami agama
Dewasa
ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekadar menjadi lambang kesalehan atau berhenti Sekedar disampaikan dalam
kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah.
Tuntutan
terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang
selama ini banyak menggunakan pendekatan teori normatif dilengkapi dengan
pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional
konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan
dengan pemikiran di atas, maka pada bab ini pembaca akan diajak untuk mengkaji
berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam emahami agama. Hal demikian
perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai
pendekatan tersebut, tidak mustahil agama
menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya
masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak
boleh terjadi.
Berbagai
pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis,
sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatar filosofis. Adapun
yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang se¬lanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddir Rahmat mengatakan bahwa agama dapat
diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya.
Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu
sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.[1]
Untuk
lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
A. PENDEKATAN
TEOLOGIS NORMATIF
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama
secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan
yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita
ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas
terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan
bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai
pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[2] Karena
sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan
teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya. Dan
jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun
masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi
yang diberikan TheEncyclopaedia of American Religion, di Amerika Serikat saja
terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu di ruaranya adalah sekte Davidian yang pada
bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya
melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah
Amerika Serikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai
teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya
terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah.[3]
Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4
prototipe pemikiran keagamaan Islam, vaitu pemikiran keagamaan fundamentalis,
modernis mesianis, dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan
tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja.
Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk
didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “teologi” di sini, tetapi
menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham
ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu
adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa
pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan
pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma
atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling
benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu
yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah,
sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan
seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun
menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian,
maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya.
Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog
atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusivisme),
sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan tertetak-kotak. Dalam kaitan ini
Amin Abdullah mengatakan, “yang menarik
perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika
archetype atau form keberagamaan (religiosity) manusia telah terpecah dan termanifestasikan
dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu, lalu “wadah” tersebut
menuntut bahwa hanya “kebenaran” yang dimilikinyalah yang paling unggul dan
paling benar. Fenomena ini, sebenarnya, yang disebutkan di atas dengan
mengklaim kebenaran (truth claim) ,yang menjadi sifat dasar teologi, sudah
barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of thought yang bersifat
partikularistik, eksklusif, dan seringkali intoleran. Oleh pengamat agama,
kecenderungan ini dianggap tidak atau kurang kondusif untuk melihat rumah
tangga penganut agama lain secara bersahabat, sejuk, dan ramah. Mode of thought
seperti ini lebih menonjol-kan segi-segi “perbedaan” dengan menutup
serapat-rapatnya segi-segi “persamaan” yang mungkin teranyam di antara berbagai
kelompok penganut teologi dan agama tertentu. Adalah tugas mulia bagi para
teolog dari berbagai agama untuk memperkecil kecenderungan tersebut dengan cara
memformulasikan kembali khazanah pemikiran teologi mereka untuk lebih mengacu
pada titik temu antar umat beragama.
B. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat
diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat
dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya, dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo,
lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini
timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan
deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian
antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak
pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang
dilakukan.di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan
model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian
historis.[4]
C. PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama
dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara
terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu
kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup
bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia.[5] Sementara
itu Soerjono Soekarno mengatakan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan kearah aman sesuatu
sharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut
kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. didalam
ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses social mengingat bahwa pengetahuan
prihal structural masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang
mengenai kehidupan bersama dari manusia.
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi
adalah suatu ilmu menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan ilmu suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan yang mendasari
terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah
satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena
banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsial dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama islam dapat
dijumpai peristiwa nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi
penguasa di Mesir. Mengapa dengan melaksanakan tugasnya nabi Musa harus dibantu
oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa
tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan
bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit
dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi
sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Dalam bukunya berjudul “Islam Alternatif”,
Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam
hal ini Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alas an sebagai
berikut:
Pertama, dalam al_qur’an atau kitab-kitab hadits,
proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan
muamalah.
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial)
dalam Islam ialahn adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya
dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dukerjakan
sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat
perorangan.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam
bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
D. PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata
philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. DalamKamus Umum Bahasa Indonesia,
Poerwadarmin ta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan
dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap
segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya”
sesuatu. Pengertian filsafat yang
umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya
filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal
dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala
sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa
filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai
sesuatu yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang
mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah, contohnya:
merek pulpen dengan kausalitas dan harganya yang bermacam-macam. Namun inti
semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka
tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Louis O Kattsof mengatakan bahwa kegiatan
kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan
berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan
secara mendalam, radikal, sistematik dan universal. Mendalam artinya dilakukan
sedemikian rupa hingga dicari sampai kebatas dimana akal tidak sanggup lagi.
Radikal artinya sampai keakar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa.
Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode
berpikir tertentu dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu
kepentingan kelomopok tertentu tetapi untuk seluruhnya
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat
digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan
filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli.
Kita misalnya membaca buku berjudul “Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu” yang
ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi. Dalam buku tersebut AL-Jurjawi berupaya
mengungkapkan hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama Islam.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak
akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistic, yakni
mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong
tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan
formalistic.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak
berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat
formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan
bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Tampaknya pandangan filsafat yang bercorak
perenialis ini secara metodologis memberikan harapan segar terhadap dialog
antara umat beragama, sebab melalui metode ini diharapkan tidak hanya sesama
umat beragama menemukan transcendent unity of religion, melainkan dapat
mendiskusikannya secara lebih mendalam, sehingga terbuka kebenaran yang
betul-betul benar, dan tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat, meskipun
tetap dalam lingkup langit kerelatifan.
E. PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di
dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu,
objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[6]
Menurut ilmu ini, segala dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang
terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit
bahkan berkaitan dengan sosial kemasyarakatan.
Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk
memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks
historisnya
Melalui
pedekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis kealam yang
bersifat empiris dan mendunia. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit
bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Kuntowijoyo telah melakukan studi
yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia menyimpulkan bahwa pada dasarnya
kandungan Al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi
konsep-konsep dan bagian. Kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-qur’an yang merujuk pada
pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan
legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam bagian ini kita mengenal
banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang
Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar, dan
sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
Melalui pendekatan ini seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu
peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang
akan memahaminya.
F. PENDEKATAN KEBUDAYAAN
Dalam Kamus Utnum Bahasa Indonesia, kebudayaan
diartikan sebagai kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin
(akal dan :Akinya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk basil kebudayaan.[7]
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta
manusia dengan menggunakan dan kmengerahkan segenap potensi bathin yang
dimilikinya.
Kebuadayaan yang demikian selanjutnya dapat
dipergunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama
yang tampil dalam bentuk foramal yang menggejala di amsayarakat. Pengalam agama
yang ada di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama,
yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih
yang merupakan pelaksana dari nash al-Qur’an maupun hadits sudah melibatkan
unsur penalaran dan kemampuan unsur manusia. Dengan demikian, agama menjadi
kebudayaan atau membumi di tengah-tengah masyarakat.
Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian,
bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsur
agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat
dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka
agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita
jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan kaum
wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda
yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.
G. PENDEKATAN PSIKOLOGI
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang
mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya.
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku
seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada
kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran,
dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui
ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat,
tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang,
melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat
pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai
istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap
beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat
baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala
kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui
tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat
digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai
dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu agama ini akan menentukan cara yang tepat
dan cocok untuk menanamkannya. misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat,
puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan
ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam
menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya
ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat menjelaskan gejala atau sikap
keagamaan seseorang.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama
dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang
akan sampai pada Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu
jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita
melihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang
sesuai dengan -rmekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian
seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya
mendapat bimbingan dari agama.
B.
[1] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed),
Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yokyakarta: Tiara Wacana
Yokyakarta, 1990), cet, II, hal. 92
[4] M. Darwam Raharjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan”
dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), Cet. Hlm. 19
[5] Hasan Sadly, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta:Bina
Aksara, 1983), cet. 18 dan 53.
[6] Ismail T al Furuqi and losis lamnya al-furuqi, The Cultural Atlas
of Islam, (New York: macmilan Publisher Company,1986), hal. 65
[7] Sultan Takbir ALsyahbanna, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat,
1986), Cet. III Hlm. 207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar