Cari Blog Ini

Rabu, 25 November 2015

Makalah MSI - Berbagai Pendekatan didalam Memahami Agama



Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku penyusun makalah ini diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Berbagai Pendekatan di dalam Memahami Agama”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah ini benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.

Pekanbaru,20Maret 2014


                                                                                                                                          Penulis

 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------



BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh sekedar menjadi lambang kesalahan atau terhenti sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
           Dalam bab ini akan mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit difahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, hal ini tidak boleh terjadi.
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dan dalam makalah ini dibahas tentang pendekatan-pendekatan sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan filosofis. Untuk lebih jelasnya pendekatan tersebut akan dikemukakan dalam makalah berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis?
2. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan filosofis?
3. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan historis?
4. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan psikologis?
5. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kebudayaan?


BAB II
ISI

Berbagai pendekatan di dalam memahami agama
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekadar menjadi lambang kesalehan atau berhenti Sekedar disampaikan dalam kotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teori normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran di atas, maka pada bab ini pembaca akan diajak untuk mengkaji berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam emahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama  menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatar filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang se¬lanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini, Jalaluddir Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.[1]

Untuk lebih jelasnya berbagai pendekatan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.


A.    PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF
       Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[2] Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang diberikan TheEncyclopaedia of American Religion, di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu di ruaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya terdapat pula teologi yang bernama Khawarij dan Murji’ah.[3] Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, vaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis mesianis, dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai “keyakinan” teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan istilah “teologi” di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.
        Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusivisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan tertetak-kotak. Dalam kaitan ini Amin Abdullah mengatakan, “yang menarik  perhatian sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika archetype atau form keberagamaan (religiosity) manusia telah terpecah dan termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu, lalu “wadah” tersebut menuntut bahwa hanya “kebenaran” yang dimilikinyalah yang paling unggul dan paling benar. Fenomena ini, sebenarnya, yang disebutkan di atas dengan mengklaim kebenaran (truth claim) ,yang menjadi sifat dasar teologi, sudah barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of thought yang bersifat partikularistik, eksklusif, dan seringkali intoleran. Oleh pengamat agama, kecenderungan ini dianggap tidak atau kurang kondusif untuk melihat rumah tangga penganut agama lain secara bersahabat, sejuk, dan ramah. Mode of thought seperti ini lebih menonjol-kan segi-segi “perbedaan” dengan menutup serapat-rapatnya segi-segi “persamaan” yang mungkin teranyam di antara berbagai kelompok penganut teologi dan agama tertentu. Adalah tugas mulia bagi para teolog dari berbagai agama untuk memperkecil kecenderungan tersebut dengan cara memformulasikan kembali khazanah pemikiran teologi mereka untuk lebih mengacu pada titik temu antar umat beragama.



B.     PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
   Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya, dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan.di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.[4]

C.    PENDEKATAN SOSIOLOGIS
      Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup manusia.[5] Sementara itu Soerjono Soekarno mengatakan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi  tidak menetapkan kearah aman sesuatu sharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. didalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses social mengingat bahwa pengetahuan prihal structural masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang mengenai kehidupan bersama dari manusia.
     Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
     Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsial dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama islam dapat dijumpai peristiwa nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dengan melaksanakan tugasnya nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
    Dalam bukunya berjudul “Islam Alternatif”, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alas an sebagai berikut:
Pertama, dalam al_qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialahn adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dukerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.

D.    PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.  DalamKamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarmin ta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.  Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah, contohnya: merek pulpen dengan kausalitas dan harganya yang bermacam-macam. Namun inti semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Louis O Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematik dan universal. Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai kebatas dimana akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai keakar-akarnya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berpikir tertentu dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelomopok tertentu tetapi untuk seluruhnya
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul “Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu” yang ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi. Dalam buku tersebut AL-Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat dibalik ajaran-ajaran agama Islam.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistic.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Tampaknya pandangan filsafat yang bercorak perenialis ini secara metodologis memberikan harapan segar terhadap dialog antara umat beragama, sebab melalui metode ini diharapkan tidak hanya sesama umat beragama menemukan transcendent unity of religion, melainkan dapat mendiskusikannya secara lebih mendalam, sehingga terbuka kebenaran yang betul-betul benar, dan tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat, meskipun tetap dalam lingkup langit kerelatifan.

E.     PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[6] Menurut ilmu ini, segala  dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan sosial kemasyarakatan.
Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya
Melalui pedekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia menyimpulkan bahwa pada dasarnya kandungan Al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi konsep-konsep dan bagian. Kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
     Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-qur’an yang merujuk pada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam bagian ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
     Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang akan memahaminya. 

F.     PENDEKATAN KEBUDAYAAN
Dalam Kamus Utnum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan :Akinya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk basil kebudayaan.[7]
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan kmengerahkan segenap potensi bathin yang dimilikinya.
Kebuadayaan yang demikian selanjutnya dapat dipergunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk foramal yang menggejala di amsayarakat. Pengalam agama yang ada di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksana dari nash al-Qur’an maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan unsur manusia. Dengan demikian, agama menjadi kebudayaan atau membumi di tengah-tengah masyarakat.
Kita misalnya menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam produk kebudayaan tersebut, unsur agama ikut berintegrasi. Pakaian model jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda yang dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.

G.    PENDEKATAN PSIKOLOGI
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat,  perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu agama ini akan menentukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya. misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran  agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.



  

BAB III
PENUTUP
A.    kesimpulan
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Di sini kita melihat  bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan -rmekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
B.  

[1] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yokyakarta: Tiara Wacana Yokyakarta, 1990), cet, II, hal. 92
[2] EricJ, Sharpe, Comparative Religion of History, (London: Duckworth, 1986), Hlm. 313
[3] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam (ilmu kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), Cet. I hlm. 32
[4] M. Darwam Raharjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), Cet. Hlm. 19
[5] Hasan Sadly, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta:Bina Aksara, 1983), cet. 18 dan 53.
[6] Ismail T al Furuqi and losis lamnya al-furuqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: macmilan Publisher Company,1986), hal. 65
[7] Sultan Takbir ALsyahbanna, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet. III Hlm. 207

Tidak ada komentar:

Posting Komentar