Cari Blog Ini

Kamis, 28 April 2016

Makalah Tindak Pidana Korupsi - Undang - undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi



Kata Pengantar


Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku penyusun makalah ini diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Undang – undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya
guna dimasa yang akan datang.

Harapan penulis, mudah-mudahan makalah ini benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.



Pekanbaru,01 April 2016


Penulis





DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR................................................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................................................. ii

BAB I        PENDAHULUAN
                         A.  Latar Belakang.............................................................................................................................. 1

BAB II       PEMBAHASAN

A. Undang- Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi........................................................................................................................................ 2

B.    Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi        ...................................................................................................................................................... 3

C.    Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi    ...................................................................................................................................................... 9

D.    Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaha atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi....................................................................................................................................... 11

BAB III     PENUTUP

A.    Kesimpulan................................................................................................................................ 13 




BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang

Sebagaimana dikemukakan pembuat undang- undang memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang perbuatan korupsi bukan pidanan karena bagaimanapun, dalam hal- hal seperti itu terbuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat perdata melalui Pasal 1365 BW terhadap pelaku perbuatan seperti itu. Telah dikemukakan jugan bahwa perumusan delik yang ada dalam peraturan penguasa perang pusat tersebut diambil alih sepenuhnya oleh undang- undag Nomor 24 (PRP) 1960 ini dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan  sub b hanya kata “ perbuatan” diganti dengan “tindakan” karena undang – undang ini memakai istilah “tindak pidana Korupsi” bukan perbuatan korupsi pidana.

Perumusan- perumusan Undang- Undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 perlu dikaji, bukan saja sebagai suatu sejarah, tetapi juga berhubungan dengan adanya ketentuan peralihan dalam undang- undang No.3 Tahun 1971 sehingga berlaku undang- undang pada saat tindak pidana dilakukan.

Bagaimana undang- undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 lebih menguntungkan tertuduh karena selain ancaman pidananya  lebih ringan, juga perumusan deiknya lebih sulit dibuktikan oleh jaksa dari UU PTPK 1972 karena harus ada kejahatan atau pelanggaran lebih dahulu, kemudian membawa akibat seperti uraian situ. Hal ini dapat disebut pembuktian ganda.









BAB II

PEMBAHASAN



A.   Undang- Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Dari permulaan dapat diketahui bahwa peraturan penguasa perang pusat tentang pemberanasan korupsi itu bersifat darurat, bersifat temporer, yang berlandaskan undang- undang keadaan bahaya.

Semula, ia berbentul peraturan pemerintah pengganti undang- undang, kemudian disahkan menjadi undang- undang. Karena bentuknya adalah peraturan pemerintah pengganti undang- undang, yang dengan undang- undang Nomor 1 tahun 1961 dijadikan undang- undang, maka tidak perlu dibahas di DPR.

Sebagaimana dikemukakan pembuat undang- undang memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang perbuatan korupsi bukan pidanan karena bagaimanapun, dalam hal- hal seperti itu terbuka kemungkinan bagi pemerintah untuk menggugat perdata melalui Pasal 1365 BW terhadap pelaku perbuatan seperti itu.

Telah dikemukakan jugan bahwa perumusan delik yang ada dalam peraturan penguasa perang pusat tersebut diambil alih sepenuhnya oleh undang- undag Nomor 24 (PRP) 1960 ini dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan  sub b hanya kata “ perbuatan” diganti dengan “tindakan” karena undang – undang ini memakai istilah “tindak pidana Korupsi” bukan perbuatan korupsi pidana.

Pada sub c hanya ditambah saja Pasal 415, 416, 417, 423, 425, dan 435 KUHP. Memang ini menjadi kekurangan peraturan penguasa perang pusat karena penggelapan oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi disamping masalah suap menyuap (pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP) begitu pula  dengan Pasal 423 dan 425 KUHP merupakan bentuk extortion yang disebut knevelarij.

Perumusan- perumusan Undang- Undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 perlu dikaji, bukan saja sebagai suatu sejarah, tetapi juga berhubungan dengan adanya ketentuan peralihan dalam undang- undang No.3 Tahun 1971 sehingga berlaku undang- undang pada saat tindak pidana dilakukan.

Bagaimana undang- undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 lebih menguntungkan tertuduh karena selain ancaman pidananya  lebih ringan, juga perumusan deiknya lebih sulit dibuktikan oleh jaksa dari UU PTPK 1972 karena harus ada kejahatan atau pelanggaran lebih dahulu, kemudian membawa akibat seperti uraian situ. Hal ini dapat disebut pembuktian ganda.



B.     Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Jika kita tinjau yurisprudensi selama kurun waktu antara 1960- 1970, sangat sedikit delik korupsi dapat ditemukan.

Berlainan misalnya dengan kurun waktu 1971- 1981, dimana dapat ditemukan perkara korupsi dari yang kecil sampai yang besar. Kita dapat menemukan dalam yurisprudensi perkara- perkara yang besar seperti Robby Tjahjadi, Abu Kiswo, Ledjen. siswadji, Budiadji, liem keng eng, dan endang widjaja, kemudian dua orang hakim senior, masing- masing JZL, yang diadili pengadilan negeri jakarta pusat.

Seperti diketahui sejak lahirnya orde baru pada tahun 1966, suaru- suara yang menghendaki pemberantasan korupsi, lebih diperhebat semakin hari bertambah nyaring, baik berupa berita maupun berupa karangan disurat kabar, majalah, dalam pertemuan, diskusi dan sebagainya yang bertemakan pemberantasan korupsi. Juga dikenal adanya komite anti korupsi di awal orde baru.

Masih dibawah kuasa peraturan penguasa perang pusat, pemerintah telah berusaha sekeras- kerasnya mengefektifkan pemberantasan korupsi, yaitu dengankeputusan presiden Nomor 228 Tahun 1967, Tanggal 2 Desember 1967, dibentuk tim pemberantasan korupsi (TPK). dalam tim ini jaksa agung diberi wewenang mengoordinasikan penyidikan bak terhapda pelaku militer maupun sipil, bahkan perkara koneksitas antara orang sipil dan militer pada prinsipnya pengadilan negara mengadili, dengan hakim- haim sipil dan militer.

Namun demikian, tuntutan masyarakat agar korupsi diberantas tidak mengendor sehingga pada akhirnya prediden pada tanggal 31 Januari 1970 mengeluarkan dua buah keputusan, yaitu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun1970 tentang pembentukan komisi 4 dan keputusan presiden nomor 13 Tahun 1970 tentang pengangkatan Dr. Mohammad Hatta sebagai penasehat presiden.

Komisi empat terdiri dari :

  1. Wilopo, S.H 
  2. I.J Kasimo
  3. Prof.Ir Johannes
  4. Anwar Tjokroaminoto

Tugas komisi adalah :

  1. Mengadakan penelitian dan penilaian terhadap kebijaksanaan dan hasil- hasilyang dicapai dalam pemberantasan korupsi
  2. Memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaan yang diperlukan dalam pemberantasan korupsi
Sementara itu tugas Mohammad Hatta sebagai penasihat presiden dalam hal ini adalah:

1.      Memberikan pertimbangan- pertimbangan kepada presiden dalam hal soal- sola yang berhubungan dengan usaha- usaha pemberantasan korupsi

2.      Memberikan saran- saran kepada komisi empat untuk kelancaran tugas.

Kemudian diadakan panel diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa Indonesia pada tanggal 10- 12 Agustus  1970, tentang masalah korupsi dari berbagai segi. Panel diikuti oleh tokoh- tokoh sarjana terkemuka, antara lain Oemar Sena Adji, Ismail Suny, Loekman Wiriadinata, Yap tiar Hien, Emil salim, Koentjoroningrat, Fuad Hassan.

Dari sekian segi yang didiskusikan, yang paling penting ialah inventarisasi pokok- pokok pikiran dalam panel diskusi hukum dan korupsi, terutama tentang hukum positif dan pemberantasan korupsi dari diskusi tersebut mereka menghasilkan pokok pikiran yaitu sebagai berikut:

1.      Hukum positif sekarang ini telah cukup untuk keperluan pemberantasan korupsi.

sementara itu kelemahan yang ada dalam hukum posistif adalah:

a.    Kemampuan yang sungguh- sungguh dan kegesitan alat- alat penegak hukum untuk melaksanakan pemberantasan korupsi secara intensif dan efektif

b.    Jaksa atau penuntut umum hendaknya tidak menolak penuntutan atau tidak mengajukan perkara korupsi ke muka pengadilan dengan dalil- dalil alat bukti tidak cukup karena masalah pembuktian  adalah masalah pengadilan semata.

c.   Denagan diajukannya perkara tindak pidana korupsi kemuka pengadilan hal ini memberikan kesempatan kepada hakim untuk melaksanakan seni menerapkan hukum anti korupsi.

2.      Hukum positif yang ada sekarang ini tidak cukup untuk keperluan pemberantasan korupsi karena itu perlu diadakan undang- undang anti korupsi yang baru.

Pemerintah menanggapi segala himbauan masyarakat tersebut diatas dengan membuat rencana undnag- undanganti korupsi yang baru, yang diharapkan lebih baik dari undang- undang sebelumnya.

Peranan dominan dari dari penyususna rencana itu dipegang langsung oleh Menteri kehakiman Oemar Seno Adji, seorang guru besar hukum pidana di Universitas Indonesia. Hasil karyanya berupa rencana undang- undang tindak pidana korupsi yang akan menggantikan undang- undang  (Prp) yang lama, yang dilimpahkan ke DPRGR pada tanggal 13 Agustus 1970 untuk dibahas.

Langsung saja masyarakat menanggapinya dengan pemberitaan- pemberitaan disurat- surat kabar. Begitu juga para sarjana atau ahli hukum angkat bicara, seperti peradin yang melalui terompetnya majalah hukum dan keadilan mengeluarkan nomor khusus, yaitu nomor 6, tahun 1 (September / Oktober 1970) yang membahas rencana undang- undang tersebut.

Pada umumnya pembahasan rencana undang- undang tersebut berjalan lancar, kecuali beberapa masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat antara pemerintah dan anggota- anggota DPRGR. Masalah itu antara lain sebagai berikut :

1.      Pembahsan sekitar Pasal 17, dimana banyak anggota DPRGR menghendaki agar diberlakukan asas pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yang berarti bukan jaksa yang harus mebuktikan tertuduh bermasalah, tetapi tertuduh yang diberi beban membuktikan bahwa ia tidak bersalah (tidak korupsi).

Pemerintah dalam hal ini menteri Kehakiman Oemar Seno Adji, membuktikan terbalik itu, yang diucapkannya pada tanggal 28 agustus 1970 disidang Pleno DPRGR sebagai berikut.” Dalam hubungan inilah rencana undang- undang pemberantasan korupsi tidaka mengenal asas pembalikan pembuktian, yang akan merupakan pelanggaran terhadap prinsip nonselfin crimination sebagai suatu hak seseorang dalam perkara pidana”.

Selanjutnya, Oemar Seno Adji mengatakan sebagai berikut.

            “Masalah beban pembuktian  dipecahkan dalam undang- undang ini dengan mengambil ketentuan bahwa acara biasa tidak ditempuh, disamping kenyataan bahwa pembalikan pembuktian dalam bentuk murninya tidak diikuti sepenuhnya seperti dicantumkan dalam Pasal 17.

Menteri kehakima membandingka ketentuan Pasal 17 RUU dengan Pasal- Pasal 310 ayat (3), 311, dan 312 KUHP, dimana kepada terdakwa diberikan kesempatan untuk membuktikan ketidaksalahannya.

Loekman Wiriadinata tidak dapat menyetujui pendapat menteri kehakiman dengan alasan bahwa dalam hal yang dimaksud ketidaksalahannya, sebagaimana dimaksud kepada terdakwa itu tidaklah diberikan kesempatan untuk membuktikan ketidaksamaannya, sebagaimana yang dimaksud menteri kehakiman, melainkan kepada terdakwa itu diberikan kesempatan untuk mebuktikan dalilnya bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri.

Menurut Loekman Wiriadinata, tidak ada satu negarapun yang menganut pembuktian terbalik sebagai yang digambar oleh menteri kehakiman. Ada beberpa Negara menganut pembuktian terbalik, tetapi terbatas, sebagaimana halnya dengan malaysia. Dikutipnya Section 14 Dari Prevention Of Coruption Act Malaysia, sebagai berikut.

where in ani proceedings against person on offence under 3 of 4 it is proved tha any gratification has been paid or given to or received by a person in the employment of any public body, such gratification shall be deemed to have been paid or given and received coruptly as inducement or reward as hereinafter mentioned, unles the contrary is proved”. ini disebut persumtion of  corruption in certain cases.( sekarang Pasal 42 Act 1997).

S. Tarif mengatakan sebagai berikut :

“Mengenai omkering van bewijslast (Pasal 17), ternyata bahwa asas presumption of innocence masih dipertahankan dalam RUU yang barusekalipun ada Pasal disana sini yang agak mendesak asas tersebut. Namun, mengenai perumusan Pasal 17 ayat (1) saya kira rumusan tersebut dapat lebih disempurnakan.

Mengenai Pasal 18 yang nadanya sama dengan Pasal 17 itu, dimana dikatakan bahwa setiap terdakwa diwajibkan memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta istri / suami, anak, S.M Amin mengatakan tidak dipertanggung jawabkan karena tertuduh tidak dapat dipaksa memberi keterangan seperti yang dikehendaki hakim.

Pembahasan sekitar Pasal 36 (masalah apakah UU PTPK berlaku surut ataukah tidak).

Ada beberapa anggota DPRGR yang menghendaki agar UU tersebut diberlakukan surut, misalnya Muhammad Buang BC.Hk.(Perti), yang mengatakan “ Dalam Pasal 36 atas draf terakhir dari RUU ini disebutkan bahwa segala tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum RUU ini berlaku. Dipergunakan peraturan yang lama lagi bagi penyelesaian dimuka pengadilan. Sebenarnya Fraksi kami bersama dengan beberapa fraksi lainnya menghendaki agar RUU ini dinyatakan berlaku surut. Akan tetapi, dengan penegrtian setelah melalui pembicaraan yang mendalam akhirnya semua pihak menyetujui agar RUU ini dinyatakan tidak berlaku surut.”

Begitu pula Oesman J. Helmy (PSII) mengatakan sebagai berikut.

“Pada permulaan pembicaraan tingkat keempat RUU ini PSII kuatir akan terlanggarnya hak- hak  asasi manusia, legalitas hukum, dan lolosnya “kakap- kakapnya koruptor” (Pasal 17- 36). Oleh karena itu, dengan segala kemampuan kami telah berikhtiar menghindarinya. Inilah pendirian kami tiada tahu seolah- oah suatu kenyataan berlalu “ ataukah” kafilah menggonggong anjing berlalu. “ yang jelas RUU nya lau, kekuatiran tiada berlalu.”

Begitu pula dengan anggota Tuti Harahap  Sudjaanadiwirja (Parkindo) yang mengatakan tiada berlalu.”

“Dalam pada itu Undang- Undang baru ini yang akan disahkan nantik tidak akan memenuhi sasaran yang dimaksud, jika ia hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi yang masih akan diperbuat setelah RUU ini dinyatakan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 36 RUU ini, sehingga kami tetap tidak setuju dengan Pasal 36 ini. Disini kami menyatakan bahwa kami tetap pada pendirian kami mengenai Pasal 36 ini dan kami menyatakan tidak bertanggung jawab atas akibat – akibat Pasal tersebut.”

Disamping mereka yang menghendaki berlaku surutnya UU PTPK tersebut, ada pula yang tetap mempertahankan asas nullum – delictum nulla poena sine legi seperti J.Soeporno (katolik) yang mengatakan sebagai berikut:

“Untuk meninggalkan asas legalitas yang tersebut dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dalam menghadapi perbuatan korupsi terlalu mahal harga yang harus dibayar. Sekali kita melepas asas legalitas, tidak akan begitu kuat kiranya kita memertahankan asas legalitas ini dalam penyusunan Undang- undang pada waktu yang akan datang. Dan ini merupakan ancaman bagi usaha kita untuk menegakkanNegara Hukum seperti yang kita cita- citakan “.

Tentu saja pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman, tetap mempertahankan Pasal 36 RUU ini dengan mengatakan sebagai berikut:

Demikian pula asas legalitas yang ditetapkan dalam Pasal 36 sekarang menjelaskan, bahwa betapapun eksepesional sifatnya perundang- undangan ini masih bergerak dalam kerangka negara hukum indonesia, dimana asas legalitas tersebut merupakan ciri khas dan unsur essensial dan fundamental. Tidak begitu “ lichtvaardig”tidak begitu ringan tangan kita akan menghapus dan menyampingkan asas legalitas yang memungkinkan suatu peraturan pidana diberlakukan surut kembali dari kehidupan kita”.

Demikian secara singkat pembahasan Rencana Undang- Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada akhirnya disetujui dan disahkan menjdai undang – undang pada tanggal 29 maret 1971, dan diundangkan pada hari itu, termuat dalam lembaran Negara tahun 1971 Nomor 19, dengan nama Undang- undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.



C.    Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Dengan terbentuknya kabinet Habibie yang mulai menjadi menteri kehakiman pada tahun 1998, dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undang-undang dalam waktu singkat, kurang dari dua tahun, pemerintahan ini menciptakan undang-undang sebanyak-banyaknya dengan sepuluh tahun pemerintahan soeharto. Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain perubahan atau penggantian undang-undang No 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rupanya anggapan bahwa yang kurang sempurna sehingga banyak terdapat korupsi ialah undang-undangnya,  padahal “orangnya” dan “sistemnya”.

Tim yang pertama dibentuk diketahui oleh Bada Nawawi Arief dan mengambil tempat di Puncak, yang anggotanya antara lain : Loebby Loqman dan penulis bersama dengan orang-orang dari Departemen Kehakiman sendiri seperti Haryono dan Wahid. Setelah di pandang sudah lengkap, antara lain dengan menciptakan minimum khusus, yang meliputi baik pidana penjara maupun pidana denda, pembedaan ancaman bagi setiap delik sesuai dengan bobot delik itu serta kualitifikasinya, penambahan peran masyarakat yang diusulkan oleh Wahid, maka diadakan Tim Inter Departemen yang diketahui oleh penulis dan mengadakan rapat di Departemen Kehakiman pada kuartal pertama tahun 1999. Sekitar bulan juli 1999 dibahaslah Rancangan ini di DPR. Pemerintah diwakili oleh Menteri Muladi sendiri disertai dengan Dirjen Perundang-undangan Romli, penulis dan Loebby Loqman.

Dalam pembahasan ini Pansus DPR itulah yang ditambahkan tentang pidana mati khusus tentang pidana mati untuk delik yang tercantum dalam pasal 2 dalam keadaan “tertentu” yang kemudian dijelaskan apa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” itu seperti bencana alam nasional, keadaan, keadaan bahasa dan krisis moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula tentang akan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan. Usul ini berasal dari Fraksi PPP (Zain Bat Jeber). Sementara itu, rumusan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh penulis tolak, baik sebagian anggota DPR maupun oleh menteri sendiri karena dipandang tidak jelas dan melanggar asas legalitas. Sewaktu pembahasan Pidan Mati dan Penghapusan ketetntuan tentang pembalikan beban pembuktian yang disusun oleh penulis ini, penulis tidak hadir sehingga tidak sempat untuk mempertahankannya, juga tentang ketentuan pidan mati dalam “keadaan tertentu”.

Dengan demikian, undang-undang no 31 tahun 1999 adalah undang-undang paling keras dan bert di ASEAN. Sayang, ketentuan tentang pembalikan. Beban pembuktian tidak diterima, andai kata diterima, tidak perlu diciptakan ancaman pidana demikian beratnya selama semua pelanggar dapat diajukan ke pengadilan dan semua kerugian negara dapat dikembalikan kekas negara, sebagaiman berlaku di Hongkong dan Malaysia. Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah undang-undang no.3 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidan Korupsi menggantikan undang-undang no.3 tahun 1971.



D.   Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaha atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Setelah Baharudin Lopa menjabat Menteri Kehakiman sekitar bulan maret 2001, cita-citanya menciptakan ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian didalam undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi segera direalisasikan dengan membentuk tim yang terdiri atas, antara lain Baharudin Lopa, Adnan Bayung Nasution, Romli, Abdulgani Abdullah, Netabaya, Yusrida, Sri Hadningsih, Indrianto Seno Adji, Arifin, dan Oka Mahendra. Jadi, maksud semula untuk mengubah undang-undang no.31 tahun 1999 hanyalah untuk menambah ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian.

Ada dua jenis ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian, yang pertama menyangkut pemberian dalam jumlah satu juta rupiah keatas, harus dilaporkan jika tidak dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Berarti penuntu umum hanya membuktikan satu bagian inti delik, yaitu adanya pemberian kepada pegawai negri atau penyelenggara negara. Bagian yang lain, seperti berhubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan kewajibannya dibebankan kepada terdakwa.

Rumusan ini ditiru dari pasal 42 ACA Malaysia dengan modifikasi tertentu.  Baharudin Lopa dan Romli mengusulkan agar jumlah uang atau harta yang diterima bukan satu juta rupiah karena terlalu kecil, tapi sepuluh juta rupiah.

Rumusan yang pertama diubah oleh DPR sehingga hilang artinya sebagai pembalikan beban pembuktian. Sementara itu, rumusan kedua diterima penuh. Dengan demikian, pembalikan beban pembuktian yang ada hanya satu macam saja yang terbatas ada pembertasan harta saja.

Perubahan lain yang dicantumkan dalam undang-undang no.20 tahun 2001 ialah tentang minimum khusus yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima juta atau lebih. Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “ketentuan tertentu” untuk menjatuhkan Pidana mati, juga diubah sesuai dengan rancangan bahwa bukan waktu yang menentukan tetapi peruntukan uang untuk keadaan tertentu itu yang dikorupsikan.

Rumusan delik berasal dari KUHP, langsung disalain seluruhnya dalam rumusan delik korupsi dengan ancaman pidana sendiri serta mencabut pasal-pasal tersebut dalam KUHP.  





  

BAB III

PENUTUP



A.    Kesimpulan

Perumusan- perumusan Undang- Undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 perlu dikaji, bukan saja sebagai suatu sejarah, tetapi juga berhubungan dengan adanya ketentuan peralihan dalam undang- undang No.3 Tahun 1971 sehingga berlaku undang- undang pada saat tindak pidana dilakukan.

Bagaimana undang- undang Nomor 24 (Prp) tahun 1960 lebih menguntungkan tertuduh karena selain ancaman pidananya  lebih ringan, juga perumusan deiknya lebih sulit dibuktikan oleh jaksa dari UU PTPK 1972 karena harus ada kejahatan atau pelanggaran lebih dahulu, kemudian membawa akibat seperti uraian situ. Hal ini dapat disebut pembuktian ganda.

Untuk meninggalkan asas legalitas yang tersebut dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dalam menghadapi perbuatan korupsi terlalu mahal harga yang harus dibayar. Sekali kita melepas asas legalitas, tidak akan begitu kuat kiranya kita memertahankan asas legalitas ini dalam penyusunan Undang- undang pada waktu yang akan datang. Dan ini merupakan ancaman bagi usaha kita untuk menegakkanNegara Hukum seperti yang kita cita- citakan.

Asas legalitas yang ditetapkan dalam Pasal 36 sekarang menjelaskan, bahwa betapapun eksepesional sifatnya perundang- undangan ini masih bergerak dalam kerangka negara hukum indonesia, dimana asas legalitas tersebut merupakan ciri khas dan unsur essensial dan fundamental. Tidak begitu “ lichtvaardig”tidak begitu ringan tangan kita akan menghapus dan menyampingkan asas legalitas yang memungkinkan suatu peraturan pidana diberlakukan surut kembali dari kehidupan kita”.

Demikian secara singkat pembahasan Rencana Undang- Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada akhirnya disetujui dan disahkan menjdai undang – undang pada tanggal 29 maret 1971, dan diundangkan pada hari itu, termuat dalam lembaran Negara tahun 1971 Nomor 19, dengan nama Undang- undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.




  -----Terimakasih-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar