Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku penyusun makalah ini diberi
kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Mahar dan Walimah”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif
agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah ini benar-benar membuktikan bahwa
mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada
kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa
khususnya. Amin.
Pekanbaru,5 April 2014
Penulis
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB
II
PEMBAHASAN
1. MAHAR
A. Pengertian
Mahar
Mahar (arab : المهر = maskawin), adalah
pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar juga merupakan salah satu
unsur terpenting dalam proses pernikahan. Demikian dikemukakan dalam Ensiklopedi
Hukum Islam.[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu
dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini kelihatan nya
sesuai dengan tradisi yang berlaku di indonesia bahwa mahar itu diserahkan
ketika berlangsungnya akad nikah.
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara
terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri
sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi
seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi
calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa
(memerdekakakn, mengajar, dll).[2]
Mahar itu dalam
bahasa arab disebut dengan delapan nama, yaitu : mahar, shadaq, nihlah,
faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kat tersebut mengandung
arti pemberian wajibsebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[3]
Para ulama
mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
- Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya”.
- Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”.
- Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar. “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim”.[4]
B. Dasar Hukum Mahar
Ø (Q.S.An-Nisa:
4)
وَءَاتُواْ
ٱلنِّسَآءَ صَدُقَـٰتِہِنَّ نِحۡلَةً۬ۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَىۡءٍ۬ مِّنۡهُ
نَفۡسً۬ا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔ۬ا مَّرِيٓـًٔ۬ا
Artinya,”
Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah [ambillah]
pemberian itu [sebagai makanan] yang sedap lagi baik akibatnya.
Ø (QS.
An-Nisa’:24)
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
Artinya,” Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban.
Ø (HR. Bukhori), Rasululah bersabda:
تَزَوَّجْ
وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
Artinya,”
“Kawinlah
engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”
C. Hadis
yang menjelaskan tentang Mahar
Ø [HR.
Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya]
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ
امْرَأَةً مِنْ بَنِى فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ ص: اَ رَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَ مَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
فَاَجَازَهُ. احمد و ابن ماجه و الترمذى
و صححه
Dari ‘Amir bin Rabi’ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang
wanita dari Bani Fazarah yang dinikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah
SAW bertanya, “Ridlakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang
sandal ?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah SAW memperkenankannya”. [5]
Ø [HR.
Jamaah kecuali Abu Dawud]
عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص
رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صُفْرَةٍ. فَقَالَ: مَا هذَا؟
قَالَ: تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: بَارَكَ
اللهُ لَكَ، اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ. الجماعة الا ابا داود
Dari Anas RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah melihat
bekas kuning-kuning pada Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya, “Apa ini
?”. Abdurrahman menjawab, “Aku baru saja menikahi seorang wanita dengan (mahar)
emas seberat biji kurma”. Nabi SAW bersabda, “Semoga Allah memberkatimu,
selenggarakanlah walimah walau hanya dengan (memotong) seekor kambing”.
Ø
[HR. Ahmad]
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ ص قَالَ: اِنَّ اَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً اَيْسَرُهُ مَئُوْنَةً. احمد
Dari ‘Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya”.
Ø [HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim]
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ
النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ
وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟
فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ
اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا.
فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ.
فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ
اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ
يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ
اْلقُرْآنِ. احمد و البخارى و مسلم
“Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah
didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku
menyerahkan diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah
seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika
engkau sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya,
“Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar
untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”.
Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak
berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu
berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW
bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari,
tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah
kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat
ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya,
“Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari
Al-Qur’an itu”.
D. Syarat-syarat
Mahar
Mahar yang
diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar yang dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit,
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila
mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah.
b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan
tidak berharga.
c. Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang
lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat
untuk mengembalikan kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil
gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
d.Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau
tidak disebutkan jenisnya.[6]
E. Macam-macam Mahar
Ulama fiqih
sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil
(sepadan).
a. Mahar musamma
Mahar musamma
yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad
nikah, atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqh sepakat bahwa dalam
pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1. Telah bercampur (bersenggama).
2. Salah satu dari suami istri meninggal.
Demikian menurut ijma’.[7]
Mahar musamma
juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan
ternyata hikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istri
mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami
lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT: “ Jika kamu menceraikan
istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan
itu. (Q.S An-Nisa: 237)”
b. Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil
yaitu mahar yang tidak disebut besra kadarnya pada saat sebelum ataupun sesudah
ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang
pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya,
dengan mengikat status social, kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi
mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi
pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin
wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila tidak ada, maka mitsil
itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil
juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1. Apabila tidak disebutkan kadar
mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah
bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar
sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.[8]
F. Kadar (Jumlah) Mahar
Kalangan ulama sepakat secara bulat,
Bahwa tidak ada batasan tertinggi mahar yang diberikan mempelai pria kepada
istrinya. Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum
dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia
dalam memberikannya.[9]
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut
kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing
pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar
Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin
karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu
perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
Artinya, “Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah
datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah!
Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita
tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya
Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat
kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu
yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak
memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan
sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu
(yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi
berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi,
tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda:
“adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata:
“Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi
saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar)
Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).[10]
Berdasarkan beberapa hadits
yang telah disebutkan, Nabi menyuruh untuk memberikan mahar berupa baju, cincin
dari besi dan bacaan qur’an para ulama’ madzhab Syafi’I menetapkan bahwa tidak
ada batasan minimal mengenai berapa mahar yang harus diberikan seorang lelaki. Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi
Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu
tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya
tentu beliau menjelaskannya.[11]
Sedangkan mengenai batasan
maksimalnya semua ulama’ sepakat tidak ada batasan maksimal mengenai mahar yang
diberikan. Dalilnya adalah firman Allah ;
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
Artinya,” Sedang kamu
telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak” (An-Nisa’
: 20)
Hanya saja disunatkan bagi seorang perempuan untuk tidak
terlalu berlebihan dalam meminta mahar, berdasarkan hadits :
عَنْ أَبِي الْعَجْفَاءِ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ: أَلَا لَا تَغْلُوا صُدُقَ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ
مَكْرُمَةً وَفِي الدُّنْيَا، أَوْتَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، كَانَ
أَوْلَاكُمْ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أَصْدَقَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا
أُصْدِقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ، أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً
Aretinya,” Dari Abu ‘Ajfaa’, dia berkata : Aku pernah
mendengar Umar berkata, “Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar
kepada wanita, meskipun dia seorang yang dimuliakan di dunia atau seorang yang
terpelihara di akhirat. Adapun yang paling utama (dalam menghormati wanita)
diantara kamu adalah Nabi SAW. Padahal tidaklah Rasulullah SAW memberi mahar
kepada seorang pun dari istri-istrinya dan tidak pula putri-putri beliau itu
diberi mahar lebih dari dua belas uqiyah”.(Sunan Nasa’I, no.3349 dan Musnad
Ahmad, no.285)
G. Gugur/Rusaknya
Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri
atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan,
mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena
sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang
mengandung lima persoalan pokok, yaitu:[12]
a.
Barangnya tidak boleh dimiliki;
b.
Mahar digabungkan dengan jual beli;
c.
Penggabungan mahar dengan pemberian;
d.
Cacat pada mahar; dan
e.
Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar,
babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan
persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik
sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid.
Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh
mahar mitsli.
Mengenai penggabungan mahar dengan
jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan
memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin
laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar,
tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka
Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab
dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan
dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat
kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
Tentang penggabungan mahar dengan
pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang
menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat
pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga
pendapat.
Imam Abu Hanifah dan pengikutnya
mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam
Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli.
Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad
nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila
syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik
ayah.
Mengenai cacat yang terdapat pada
mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad
nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah
harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga
mahar mitsli.
Imam Syafi’i terkadang menetapkan
harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat
menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang
sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta
harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan
bahwa nikahnya batal.
Mengenai gugurnya mahar, suami bisa
terlepas dari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian
sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam,
atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan
tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh
walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak
sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
Begitu juga mahar dapat gugur apabila
istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar
karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya
berada dalam kekuasaan perempuan.
H.
Memberi
Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan
diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan
utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian,
berdasarkan sabda Nabi Saw:
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi
Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu
jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi
Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud,
Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa
larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum
dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran
mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih.
Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan
cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh
ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka
manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan
mahar (diangsur) ada yang membolehkannya
hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat
Imam Malik.
2. WALIMAH
A. Pengertian
Walimah الوليمة artinya Al-ja’mu =
kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul. Walimah الوليمة berasal dari kata Arab:
اَلْوَلِمَ artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan yang
disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai
makanan untuk tamu undangan atau lainnya. Walimah diadakan ketika acara akad
nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri
istrinya) atau sesudahnya. Bisa juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat.[13]
B. Dasar
hukum Walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu
hukumnya sunnah mua’kad. Hal ini didasarkan hadits Rasulullah SAW;
عَنْ اَنَسٍ قَالَ : مَااَوْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى شَىْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ اَوْلَمَ
بِشَاةٍ {رواه البخارى ومسلم}
Artinya,” Dari Annas, ia berkata, “Rasulullah SAW,
mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk istri-istrinya dan untuk
Zainab”. (HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ لَمَا
خَطَبَ عَلِىٌّ فَاطِمَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَنَّهُ لاَبُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيْمَة {رواه احمد}
Artinya,” Dari
Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah SAW, bersabda,
“Sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walinya.” (HR. Ahmad)
قَالَ اَنَسٌ : مَا اَوْلَمَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْرَاَةٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا
اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبِ وَجَعَلَ يَبْعَثُنِى فَاَدْعُوْا لَهُ النَّاسَ
فَاطْعَمَهُمْ خُبْزًا وَلَحْمًا حَتَى شَبِعُوْا {الحديث}
Artinya,“Annas ra
berkata, “Rasulullah SAW, tidak pernah pengadakan walimah bagi istri-istrinya,
juga bagi Zainab”. Beliau menyuruh aku, lalu aku memanggil orang atas nama
beliau. Kemudian beliau hidangkan kepada mereka roti dan daging sampai mereka
kenyang”. (Al-Hadits)
Beberapa hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah
itu boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai kemampuan. Hal itu
ditunjukkan oleh Nabi SAW, bahwa perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah
oleh beliau bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi
semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.
C. Hukum
menghadiri undangan walimah
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan
menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
a. Tidak ada uzur syar’i
b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak digunakan untuk perbuatan munkar
c. Yang diundang baik dari kalangan orang kaya maupun miskin.[14]
"Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda :Barangsiapa tidak menghadiri undangan, sesungguhnya ia telah
durhaka kepada Allah dan RasulNya." (HR Bukhari)
Ada ulama yang berpendapat bahwa hokum menghadiri
undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan sunnah,
akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hokum mendatangi
undangan selain walimah, menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkad. Sebagian
golongan Syafi'ie berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa
pendapat ini dari jumhur sahabat dan tabi'in, karena hadits diatas memberikan
pengertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan mempelai maupun
walinya.
Secara rinci, undangan itu wajib didatangi, apabila
memenuhi syarat:
a. Pengundang
sudah mukhallaf, merdeka, dan sehat akal
b. Undangan
tidak hanya dikhususkan kepada orang kaya tanpa melibatkan orang miskin
c. Tidak
hanya tertuju kepada orang yang disenangidan orang yang dihormatinya
d. Pengundang
beragama islam. Dengan demikian menurut pendapat yang lebih kuat
e. Khususnya hari pertama walimah. Demikian
pendapat yang masyhur
f. Belum didahului oleh undangan lain. Jika ada
undangan lain sebelumnya, yang pertama wajib didahulukan
g. Tidak ada
kemungkaran dan perkara-perkara lain yang menghalangi kehadirannya
h. Orang yang
diundang tidak berhalangan.
"Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw.
bersabda : Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak
mengundang orang yang mau dating kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang
yang enggan dating kepadanya (kaya). Barangsiapa tidak menghadiri undangan,
maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan RasulNya." (HR
Muslim)[6]
Dalam Riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya Abu
Hurairah berkata, "Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin."
(HR Bukhori)
D. Bentuk-bentuk
Walimah
Islam
mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk mengadakan walimah,
tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau maksimum dari walimah itu, sesuai
dengan sabda-sabda Rasulullah Saw. di atas.
Hal ini member
isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan kemampuan seseorang yang
melaksanakan perkawinannya, dengan catatan, agar dalam pelaksanaannya tidak ada
pemborosan, kemubaziran, lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan
membanggakan diri.
Sebagai
perbandingan dikemukakan beberapa bentuk walimah yang diadakan di zaman
Rasullah Saw. seperti disebutkan dalam hadits berikut :
"Dari 'Aisyah,
setelah seorang mempelai perempuan dibawa ke rumah mempelai laki-laki dari
golongan Anshar, maka Nabi Saw. bersaba : ya 'Aisyah, tidak adakah kamu
mempunyai permainan, maka sesungguhnya orang Anshar tertarik kepada
permainan." (Hr Bukhari dan Ahmad)[15]
E. Hikmah
Walimah
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan
(hikmah), antara lain sebagai berikut:[16]
1. Merupakan
rasa syukur kepada Allah SWT
2. Tanda
penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda
resminya adanya akad nikah
4. Sebagai
tanda memulai hidup baru bagi suami isteri
5. Sebagai
realisasi arti sosiologis dari akad nikah
6. sebagai
pengumuman bagi masarakat, terhadap resminya pernikahan.
Footnote :
[1]. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam,(jakarta,
siraja prenada media group,2006)cet.2 hal 113
[2] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh
Munakahat, (kencana: Jakarta, 2010), hlm 84
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara
Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan, (jakarta:kencana.2009)cet.3 hal 84
[4] Ibid, M. Ali Hasan hal 113-114
[5] http://1001hadits.blogspot.com/2012/01/9-tidak-ada-ketentuan-besar-kecilnya.html
[6] Slamet Abidin,Aminuddin.
Fiqih Munakahat 1, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA,1999)cet 1, hal 108-109
[7] Abdul Rahman Ghozali, op.cit,
hlm 92-93
[8] Ibid, hlm 93-94
[9] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 82
[10] Ibid, hlm. 83
[11] Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
[12] Prof. Dr. H. MA. Tihami, M.A., M.M,
dan Drs. Sohari, M.M., M.H, Fikih Munakahat, (Serang:Rajawali Pers,2008), hlm.
48
[14] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz 7. 1999
[15] Prof.
Dr. H. MA. Tihami, M.A., M.M, dan Drs. Sohari, M.M., M.H, Fikih Munakahat,
(Serang:Rajawali Pers,2008), hlm. 136
[16] Ibid. hlm 151
Daftar Pustaka
Hasan,
Syaikh Ayyub. 2001, Fikih Keluarga, Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
Tihami,
dan sahrani, sohari. 2008, Fikih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
http://wwwasihningrum.blogspot.com/2013/10/mahar-dan-walimah_10.html
http://ghofur-ulya.blogspot.com/2013/04/penafsiran-ulama-tentang-mahar.html
http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/mahar-maskawin.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar