Cari Blog Ini

Rabu, 04 November 2015

Makalah Fiqih Munakahat - Mahar dan Walimah


Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayahNya, sehingga kami selaku penyusun makalah ini diberi kekuatan dan kemampuan dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Mahar dan Walimah”
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah ini benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.

Pekanbaru,5 April 2014


Penulis


------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB II
PEMBAHASAN

1.    MAHAR
A.   Pengertian Mahar
Mahar (arab :   المهر = maskawin), adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah. Mahar juga merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan. Demikian dikemukakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam.[1]
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini kelihatan nya sesuai dengan tradisi yang berlaku di indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakakn, mengajar, dll).[2]
Mahar itu dalam bahasa arab disebut dengan delapan nama, yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kat tersebut mengandung arti pemberian wajibsebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.[3]
Para ulama mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
  1. Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya”.
  2.  Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”.
  3. Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar. “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim”.[4]

B.   Dasar Hukum Mahar
Ø  (Q.S.An-Nisa: 4)

وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَـٰتِہِنَّ نِحۡلَةً۬‌ۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَىۡءٍ۬ مِّنۡهُ نَفۡسً۬ا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔ۬ا مَّرِيٓـًٔ۬ا

Artinya,” Berikanlah maskawin [mahar] kepada wanita [yang kamu nikahi] sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah [ambillah] pemberian itu [sebagai makanan] yang sedap lagi baik akibatnya.

Ø  (QS. An-Nisa’:24)

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً

Artinya,” Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban.

Ø  (HR. Bukhori), Rasululah bersabda:

تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ
           
Artinya,” Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”

C.   Hadis yang menjelaskan tentang Mahar
Ø  [HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi, dan Tirmidzi mengesahkannya]

عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَ رَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَ مَالِكِ بِنَعْلَيْنِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَجَازَهُ. احمد و ابن ماجه و الترمذى و صححه
Dari ‘Amir bin Rabi’ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang dinikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah SAW  bertanya, “Ridlakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang sandal ?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah SAW memperkenankannya”. [5]

Ø  [HR. Jamaah kecuali Abu Dawud]

عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صُفْرَةٍ. فَقَالَ: مَا هذَا؟ قَالَ: تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ، اَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ. الجماعة الا ابا داود
Dari Anas RA, bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah melihat bekas kuning-kuning pada Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya, “Apa ini ?”. Abdurrahman menjawab, “Aku baru saja menikahi seorang wanita dengan (mahar) emas seberat biji kurma”. Nabi SAW bersabda, “Semoga Allah memberkatimu, selenggarakanlah walimah walau hanya dengan (memotong) seekor kambing”.

Ø  [HR. Ahmad]

عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِنَّ اَعْظَمَ النِّكَاحِ بَرَكَةً اَيْسَرُهُ مَئُوْنَةً. احمد
Dari ‘Aisyah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Nikah yang paling besar berkahnya yaitu yang paling ringan maharnya”.
Ø  [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ. احمد و البخارى و مسلم
“Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi  SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an itu”.

D.   Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

    a. Harta/bendanya berharga
Tidak sah mahar yang dengan yang tidak memiliki harga apalagi sedikit, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi, apabila mahar sedikit tetapi memiliki nilai, maka tetap sah. 
    b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat
Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
    c. Barangnya bukan barang gasab
Gasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk  mengembalikan kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil gasab, adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.
    d.Bukan barang yang tidak jelas keadaannya
Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[6]

E.   Macam-macam Mahar

Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
a.       Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah, atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fiqh sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1.      Telah bercampur (bersenggama).
2.      Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.[7]
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata hikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istri mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT: “ Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. (Q.S An-Nisa: 237)”
b.      Mahar mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besra kadarnya pada saat sebelum ataupun sesudah ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengikat status social, kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan, maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/ bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.[8]



F.    Kadar (Jumlah) Mahar
Kalangan ulama sepakat secara bulat, Bahwa tidak ada batasan tertinggi mahar yang diberikan mempelai pria kepada istrinya. Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.[9] Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
Artinya, “Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ai berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).[10]
Berdasarkan beberapa hadits yang telah disebutkan, Nabi menyuruh untuk memberikan mahar berupa baju, cincin dari besi dan bacaan qur’an para ulama’ madzhab Syafi’I menetapkan bahwa tidak ada batasan minimal mengenai berapa mahar yang harus diberikan seorang lelaki. Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[11]
Sedangkan mengenai batasan maksimalnya semua ulama’ sepakat tidak ada batasan maksimal mengenai mahar yang diberikan. Dalilnya adalah firman Allah ;

وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا

Artinya,” Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak” (An-Nisa’ : 20)
Hanya saja disunatkan bagi seorang perempuan untuk tidak terlalu berlebihan dalam meminta mahar, berdasarkan hadits :

عَنْ أَبِي الْعَجْفَاءِ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: أَلَا لَا تَغْلُوا صُدُقَ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ مَكْرُمَةً وَفِي الدُّنْيَا، أَوْتَقْوَى عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، كَانَ أَوْلَاكُمْ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا أَصْدَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ، وَلَا أُصْدِقَتْ امْرَأَةٌ مِنْ بَنَاتِهِ، أَكْثَرَ مِنْ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أُوقِيَّةً
Aretinya,” Dari Abu ‘Ajfaa’, dia berkata : Aku pernah mendengar Umar berkata, “Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada wanita, meskipun dia seorang yang dimuliakan di dunia atau seorang yang terpelihara di akhirat. Adapun yang paling utama (dalam menghormati wanita) diantara kamu adalah Nabi SAW. Padahal tidaklah Rasulullah SAW memberi mahar kepada seorang pun dari istri-istrinya dan tidak pula putri-putri beliau itu diberi mahar lebih dari dua belas uqiyah”.(Sunan Nasa’I, no.3349 dan Musnad Ahmad, no.285)

G.   Gugur/Rusaknya Mahar
Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beliyang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:[12]
a.       Barangnya tidak boleh dimiliki;
b.      Mahar digabungkan dengan jual beli;
c.       Penggabungan mahar dengan pemberian;
d.      Cacat pada mahar; dan
e.       Persyaratan dalam mahar.
Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
          Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur.Akan tetapi Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.
          Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
          Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.
          Mengenai cacat yang terdapat pada mahar, ulama fiqih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga mahar mitsli.
          Imam Syafi’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata,”Jika dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih cepat. Adapu Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.
          Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajiban untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebutsetelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
          Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan  padanya. Dalam hal seperti ini, gugurnya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.


H.   Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
            Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:

 Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
            Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
            Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar  (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.


2.    WALIMAH

A.   Pengertian
Walimah الوليمة artinya Al-ja’mu = kumpul, sebab antara suami dan istri berkumpul. Walimah الوليمة berasal dari kata Arab: اَلْوَلِمَ artinya makanan pengantin. Maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam acara pesta perkawinan. Bisa juga diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya. Walimah diadakan ketika acara akad nikah berlangsung, atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri istrinya) atau sesudahnya. Bisa juga diadakan tergantung adat dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.[13]

B.   Dasar hukum Walimah
Jumhur ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu hukumnya sunnah mua’kad. Hal ini didasarkan hadits Rasulullah SAW;

عَنْ اَنَسٍ قَالَ : مَااَوْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَىْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ اَوْلَمَ بِشَاةٍ {رواه البخارى ومسلم}
Artinya,” Dari Annas, ia berkata, “Rasulullah SAW, mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk istri-istrinya dan untuk Zainab”. (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ لَمَا خَطَبَ عَلِىٌّ فَاطِمَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ لاَبُدَّ لِلْعُرْسِ مِنْ وَلِيْمَة {رواه احمد}
Artinya,” Dari Buraidah, ia berkata, “Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah SAW, bersabda, “Sesungguhnya untuk pesta perkawinan harus ada walinya.” (HR. Ahmad)

قَالَ اَنَسٌ : مَا اَوْلَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِمْرَاَةٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبِ وَجَعَلَ يَبْعَثُنِى فَاَدْعُوْا لَهُ النَّاسَ فَاطْعَمَهُمْ خُبْزًا وَلَحْمًا حَتَى شَبِعُوْا {الحديث}
Artinya,“Annas ra berkata, “Rasulullah SAW, tidak pernah pengadakan walimah bagi istri-istrinya, juga bagi Zainab”. Beliau menyuruh aku, lalu aku memanggil orang atas nama beliau. Kemudian beliau hidangkan kepada mereka roti dan daging sampai mereka kenyang”. (Al-Hadits)

Beberapa hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa walimah itu boleh diadakan dengan makanan apa saja sesuai kemampuan. Hal itu ditunjukkan oleh Nabi SAW, bahwa perbedaan-perbedaan dalam mengadakan walimah oleh beliau bukan membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.

C.     Hukum menghadiri undangan walimah
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah wajib mendatanginya. Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:
a. Tidak ada uzur syar’i
b. Dalam walimah itu tidak ada atau tidak digunakan untuk perbuatan munkar
c. Yang diundang baik dari kalangan orang kaya maupun miskin.[14]
"Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda :Barangsiapa tidak menghadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan RasulNya." (HR Bukhari)
Ada ulama yang berpendapat bahwa hokum menghadiri undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan sunnah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hokum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ulama adalah sunnah muakkad. Sebagian golongan Syafi'ie berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibnu Hazm menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur sahabat dan tabi'in, karena hadits diatas memberikan pengertian tentang wajibnya menghadiri undangan, baik undangan mempelai maupun walinya.

Secara rinci, undangan itu wajib didatangi, apabila memenuhi syarat:
a.    Pengundang sudah mukhallaf, merdeka, dan sehat akal
b.    Undangan tidak hanya dikhususkan kepada orang kaya tanpa melibatkan orang miskin
c.    Tidak hanya tertuju kepada orang yang disenangidan orang yang dihormatinya
d.    Pengundang beragama islam. Dengan demikian menurut pendapat yang lebih kuat
e.    Khususnya hari pertama walimah. Demikian pendapat yang masyhur
f.     Belum didahului oleh undangan lain. Jika ada undangan lain sebelumnya, yang pertama wajib didahulukan
g.    Tidak ada kemungkaran dan perkara-perkara lain yang menghalangi kehadirannya
h.    Orang yang diundang tidak berhalangan.
"Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda : Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau dating kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan dating kepadanya (kaya). Barangsiapa tidak menghadiri undangan, maka sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan RasulNya." (HR Muslim)[6]
Dalam Riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, "Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin." (HR Bukhori)

D.   Bentuk-bentuk Walimah
Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan untuk mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau maksimum dari walimah itu, sesuai dengan sabda-sabda Rasulullah Saw. di atas.
Hal ini member isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, dengan catatan, agar dalam pelaksanaannya tidak ada pemborosan, kemubaziran, lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.
Sebagai perbandingan dikemukakan beberapa bentuk walimah yang diadakan di zaman Rasullah Saw. seperti disebutkan dalam hadits berikut :
"Dari 'Aisyah, setelah seorang mempelai perempuan dibawa ke rumah mempelai laki-laki dari golongan Anshar, maka Nabi Saw. bersaba : ya 'Aisyah, tidak adakah kamu mempunyai permainan, maka sesungguhnya orang Anshar tertarik kepada permainan." (Hr Bukhari dan Ahmad)[15]

E.   Hikmah Walimah
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan (hikmah), antara lain sebagai berikut:[16]
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah SWT
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami isteri
5. Sebagai realisasi arti sosiologis dari akad nikah
6. sebagai pengumuman bagi masarakat, terhadap resminya pernikahan.



Footnote :

[1]. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam,(jakarta, siraja prenada media group,2006)cet.2 hal 113
[2] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (kencana: Jakarta, 2010), hlm 84
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan UU Perkawinan, (jakarta:kencana.2009)cet.3 hal 84
[4] Ibid, M. Ali Hasan hal 113-114
[5] http://1001hadits.blogspot.com/2012/01/9-tidak-ada-ketentuan-besar-kecilnya.html
[6] Slamet Abidin,Aminuddin. Fiqih Munakahat 1, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA,1999)cet 1, hal  108-109
[7] Abdul Rahman Ghozali, op.cit, hlm 92-93
[8] Ibid, hlm 93-94
[9] Kamal Muhktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 82
[10] Ibid, hlm. 83
[11] Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2, hlm. 14-15
[12] Prof. Dr. H. MA. Tihami, M.A., M.M, dan Drs. Sohari, M.M., M.H, Fikih Munakahat, (Serang:Rajawali Pers,2008), hlm. 48
[13] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Sinar Baru Algensindo, Bandung: 2009), hlm. 37
[14] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz 7. 1999
[15] Prof. Dr. H. MA. Tihami, M.A., M.M, dan Drs. Sohari, M.M., M.H, Fikih Munakahat, (Serang:Rajawali Pers,2008), hlm. 136
[16] Ibid. hlm 151



Daftar Pustaka

Hasan, Syaikh Ayyub. 2001, Fikih Keluarga, Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
Tihami, dan sahrani, sohari. 2008, Fikih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
http://wwwasihningrum.blogspot.com/2013/10/mahar-dan-walimah_10.html
http://ghofur-ulya.blogspot.com/2013/04/penafsiran-ulama-tentang-mahar.html
http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/mahar-maskawin.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar